Bahan mentahnya dari di negeri sendiri, sementara pengolahan dan penikmat nilai tambahnya ada di negeri orang. Hal ini yang mendasari Robby dan sebagian perajin batu fosil asal Banten lainnya tidak ingin mengekspor fosil kayu masih mentah atau raw material.
Mereka berupaya mengolah fosil kayu menjadi barang jadi. Benar saja, fosil yang dulunya hanya berbentuk bongkahan batu besar dijual per kilogram Rp 20.000-Rp 100.000 kini menjadi barang antik bernilai ratusan juta rupiah. Bahkan, harganya bisa mencapai Rp 1 miliar.
"Alhamdulillah ekspor ini sudah ke Jerman, Singapura, Korea Selatan, dan China. Namun, kebanyakan orang Korea dan China karena mereka suka barang-barang yang antik dan aneh," ujar Robby yang menggeluti kerajinan barang pajangan dan hiasan rumah dari olahan fosil kayu ini, saat ditemuiKompas.com pada pameran INACRAFT di JCC pertengahan Juli 2012.
Menurut Robby, ada nilai seni, antik, unik, dan mewah bila diolah menjadi pajangan, mebel, bahkan perhiasan organik. "Bisa makin bening mirip batu mulia jika diolah," ungkap Robby.
Akik es
Fosil kayu atau petrified wood atau batu sempur sendiri merupakan hasil membatunya suatu kayu selama 100 hingga jutaan tahun silam di permukaan tanah. Semua bahan organik yang awalnya terkandung telah berganti menjadi mineral silikat. Senyawa yang mengandung unsur silikon, oksigen, dan beberapa logam.
Mineral silikat yang terkandung di dalam fosil kayu bukan lagi berbentuk kayu yang umumnya ditemui, melainkan lebih mirip seperti bebatuan alam. Fosil ini umumnya juga ditemui di daerah pedalaman hutan, gua, dan dasar sungai di daerah Banten dan Sumatera. Ketika diangkat dari kedalaman 3-5 meter di bawah permukaan tanah, bentuknya mirip bongkahan kayu besar, menyerupai batu berwarna coklat kehitaman.
Ada juga yang bentuknya masih utuh seperti bagian badan batang pohon. Bagi perajin seperti Robby, bentuk luar bongkahan fosil kayu ini layaknya sebuah cangkang. Sementara itu, bagian dalamnyalah yang bisa diolah menjadi barang pajangan bernilai estetika tinggi. Robby menyebutnya "batu akik es". "Ini tuh masih tertutup kulit. Kulitnya kita buka dan yang diambil bagian dalamnya. Sekarang ini yang paling dicari itu jenis akik es," kata Robby yang juga menerima permintaan pembeli, yang ingin menjadikan fosil kayu itu seperti apa.
Akik es ini berwarna putih kemerahmudaan dan padat. Sekalipun padat, bila disorot lampu senter, maka cahayanya akan menembus dinding-dinding akik es.
Untuk mencapai tahap batu akik es, Robby mengaku butuh waktu tiga hingga empat bulan pengerjaan. Pasalnya, harus penuh kehati-hatian dalam proses menggerinda dan mengamplas sisik kasar kulit luar dari fosil kayu tersebut. Ada kemungkinan juga saat pengerjaan, lanjut Robby, akik es di dalamnya malah patah atau retak. "Dari lekukannya (serat yang menempel di akik es) saja kita sudah kesulitan, takut patah saat dikerjakan," ungkapnya.
Lalu, bila pemesan menginginkan waktu pengerjaannya hanya seminggu hingga sebulan, Robby pun bisa menyanggupinya. Asalkan, barang jadinya tidak berbahan akik es sepenuhnya, masih kasar, dan tekstur kayunya pun melekat di bagian lekukan-lekukan pajangan, serta memiliki kandungan mineral silikat sedikit.
Ada juga yang disebut semi-akik es. Itu artinya, tahapan pengalusan fosil tidak sampai batas maksimal atau setengah jadi. Tentu harganya pun lebih murah ketimbang akik es. "Yang masih kasar ini dan kandungan silikat atau mineral sedikit bisa dibentuk menjadi seperti hewan, mebel, gantungan, asbak, patung Buddha dan bentuk lainnya. Bila bening atau akik es, harganya justru sangat mahal," kata Staf Pelaksana Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Banten Agus Andriansyah kepada Kompas.com,yang turut mendampingi Robby di stan pameran.
Menurut Andri, sapaan akrabnya, hanya fosil kayu berusia jutaan tahun yang mampu menghasilkan akik es.
Hanya, daerah potensi penghasil fosil kayu seperti ini sudah mulai jarang ditemui. "Suplai bahan baku fosil kayu ini sekitar 6 bulan, bahkan setahun sekali baru dikirim (dari penambang ke pengolah/industri). Tapi sekarang yang masih berpotensi masih di daerah Sukabumi, Garut, dan Banten," tutur Andri.
Ia menambahkan, untuk membedakan barang tiruan akik es, caranya mudah. Biasanya, barang tiruan berbahan plastik khusus atau bersilikat rendah. Ketika dipegang, yang asli akan terasa dingin ataupun panas karena mineral di dalamnya menyesuaikan suhu di lingkungan sekitar.
Ingin jadi tuan rumah
Baik bagi perajin maupun pemerintah, pengolahan fosil kayu di dalam negeri lebih menguntungkan daripada hanya mengekspor dalam bentuk mentah atau bongkahan besar. Andri mengaku, dalam setahun, industri binaan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Banten ini mampu mengekspor satu ton, dari berbagai jenis budidaya fosil kayu.
Untuk pasar domestik sendiri, menurut Andri, barang seperti ini juga dilirik oleh kalangan pejabat, terutama pajangan jenis akik es. Adapun harga dan jenisnya, mulai dari pajangan jenis akik es dengan berat minimal 70 kilogram dihargai Rp 200 juta-Rp 1 miliar, semi-akik es seharga Rp 17,5 juta-Rp 100 juta, hingga pajangan berbentuk hewan atau abstrak yang dihargai Rp 300.000-Rp 1 juta (berat kurang dari satu kilogram).
Untuk jenis pajangan berbentuk abstrak dengan ukuran besar, bagian kaki-kakinya ditopang oleh tatakan yang terbuat dari kayu jati. Tingkat kemahalan harga juga dipengaruhi oleh berat, ukuran, kualitas, nilai estetika, dan artistik, hingga tingkat kesulitan proses pembuatannya. "Sekarang ini, dalam proses transaksi barang jadi, memang belum ada semacam surat atau sertifikatnya. Yang menandakan barang ini asli baru dari kuitansi pembeliannya saja," ungkapnya.
Andri mengaku prihatin, hingga saat ini masih marak ekploitasi dan ekpor secara besar-besaran terhadap fosil kayu masih dalam bentuk mentah, termasuk di daerah Banten. Padahal, peningkatan nilai tambah tambang ekspor melalui pengolahan sudah diatur oleh beberapa peraturan pemerintah, seperti UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dan Kepmendag Nomor 29/M-DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan.
Untuk diketahui, Thailand sebagai negara yang sama-sama penghasil fosil kayu, mendirikan museum dan pusat penelitian fosil kayu dan mineral di Provinsi Nakhon Rhatcashima pada 1999. Adapun Amerika menjadikan kawasan fosil kayu Arizona (pada 1963) dan Missisipi (1966) sebagai taman nasional fosil kayu. Itu semua dilakukan guna pelestarian, pemanfaatan optimal, dan pemberian nilai tambah dari SDA tak terbarukan tersebut.
"Memang, cara orang paling mudah untuk menjual barang tambang beginian ya dijual kiloan. Biar lebih cepat dapat uangnya. Padahal jika kita berpikir, kalau menjualnya dalam bentuk raw material (mentah), misalnya ke China atau Korea, pastinya mereka akan menjualnya kembali dalam bentuk sudah jadi ke negara lain atau ke kita juga," ungkapnya.